"In a Revolution"

Fenomena Penyakit Kuru

In Anthropology, Medical Sciences, Psychology, Social Problems on May 16, 2009 at 9:36 pm

kuruApakah Anda pernah mendengar penyakit kuru? Mungkin hanya sedikit dari Anda yang mengetahui istilah kuru ini. Namun untuk istilah kanibalisme sebagian besar dari Anda pasti setidaknya pernah mendengar. Kanibalisme merupakan sebuah fenomena di mana satu makhluk hidup makan makhluk sejenis lainnya, misalkan anjing yang makan anjing atau manusia yang makan manusia. Kadang-kadang fenomena ini disebut anthropophagus (Bahasa Yunani anthrôpos: manusia dan phagein: makan). Seperti cerita pendek yang telah saya tulis sebelumnya mengenai prion, penyakit kuru ini memang berkaitan erat dengan prion. Jika Anda penasaran dengan penyakit kuru ini, silahkan bergabung dengan saya dalam penelusuran fenomena penyakit kuru ini sekarang!

Mengenal Kuru

Kuru adalah suatu penyakit fatal yang dihasilkan dari suatu budaya, yang menyerang otak dan sistem saraf yang ditemukan di Fore Selatan penduduk Pegunungan Papua Nugini bagian timur. Bukti sekarang menunjukkan prion sebagai penyebabnya. Gejala-gejalanya termasuk kelumpuhan, kontraksinya otot wajah, dan kehilangan pengendalian motorik yang menghasilkan ketidakmampuan untuk berjalan dan makan. Korban kuru menjadi kurus secara progresif. Penduduk Fore Selatan menyebut penyakit ini “penyakit gemetaran (trembling sickness)” dan “penyakit tertawa (laughing sickness).” Gambaran penyakit tertawa karena buktinya bahwa otot-otot wajah dari korban tertarik sehingga terlihat seperti suatu senyuman. Kematian hampir selalu terjadi 6-12 bulan sebagai onset gejala.

Kuru pertama kali didokumentasikan di antara penduduk Fore Selatan pada awal abad ke-20 dan secara progresif menjadi semakin lazim pada 1950an. Puncaknya, paling banyak menimpa wanita-wanita berumur 20an dan 30an. Ini menyebabkan masalah-masalah sosial. Normalnya, pria mempunyai beberapa istri dan anak-anak dirawat oleh wanita. Namun karena penyakit ini, terlalu sedikit wanita-wanita yang bisa menikah dan pria-pria ditinggalkan dengan kewajiban merawat anak. Para pria benci dan bingung dengan situasi ini. Akhirnya penduduk Fore Selatan mempunyai suatu penjelasan sendiri untuk penyakit ini, mereka secara logis mengasumsikan bahwa Kuru adalah pekerjaan penyihir yang menggunakan sihir menular. Jadi, penduduk menjadi sangat hati-hati membersihkan bagian-bagian rumahnya untuk meyakinkan bahwa penyihir tidak bisa mendapatkan rambut, potongan kuku jari, feses, atau kepunyaan pribadi. Di belakang rumah, wanita yang sakit kadang-kadang menyatakan identitas penyerang mereka yang dikatakan datang ke mimpi. Selain itu, kaum pria juga membuat suatu tes untuk menentukan identitas si penyihir, yang sering menyebabkan tekanan baru ketika tes itu menyatakan penyihir itu mungkin tetangga dekat atau saudara. Perburuan penyihir diatur dan penyihir tadi dipaksa mengakui dan kemudian diwajibkan mengikuti pemujaan anti sihir. Kepala suku mengusulkan agar mereka melaporkan kepada kiap (kepala pemerintahan kolonial) bahwa ada orang yang sedang membunuh kaum wanita mereka. Kemudian mereka menyarankan agar semua orang diajak ke suatu tempat terpencil dan meninggalkan wanita-wanita itu beserta anak-anak. Setelah beberapa waktu mereka berada di tempat terpencil tersebut, mereka akan kembali melihat apakah kuru telah hilang atau tidak. Tidak ada satupun dari langkah-langkah ini memperlambat peningkatan jumlah korban Kuru. Mereka melihat ada suatu masalah di sini. Biasanya jika orang-orang marah hanya akan membunuh satu orang, menghancurkan anjingnya, atau memotong pohon-pohon pisangnya. Cukup satu hal yang dilakukan, tetapi kuru menyerang secara berlebihan.

Awal 1950an, sebuah tim dokter Australia mulai bekerja untuk menemukan apa yang menyebabkan kuru dengan harapan menemukan cara penyembuhan. Antropologis mencari jejak kasus-kasus penyakit di dalam garis keluarga untuk melihat jika itu adalah penyakit keturunan. Pekerja-pekerja bidang lain mengumpulkan air, tanah, tumbuhan, dan spesimen binatang untuk mengetes racun dari lingkungan. Semua usaha ini gagal. Akhir 1950an, seorang dokter anak Amerika benama Carleton Gajdusek datang ke Papua Nugini untuk mencoba menyelesaikan masalah. Melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan dari orang yang meninggal karena kuru, dia menemukan bahwa penyakit dibawa di darah dan dikonsentrasikan di jaringan otak. Transmisinya melalui kanibalisme. Penduduk Fore Selatan makan kerabat mereka yang telah meninggal. Wanita memotong jenazah dan sebagai kanibal utama. Mereka juga memberikan daging ini kepada anak-anak mereka. Pria-pria secara umum berpikir bahwa itu bukan kebiasaan tindakan seorang pria sehingga biasanya mereka makan babi.

Awal tahun 1960an, kanibalisme merupakan pelanggaran hukum di Papua Nugini. Sejak itu, jumlah kuru telah turun secara signifikan tetapi belum begitu terlihat karena merupakan penyakit yang memerlukan masa inkubasi sangat panjang. Antara 1996 dan 2004, 11 orang didiagnosis kuru.  Tampak di sini, mereka dilahirkan sebelum 1950 dan telah mengidap kuru sebelum akhir kanibalisme. Ini berarti masa inkubasinya 34-41 tahun.

Kebudayaan Dibalik Penyakit Kuru

Sesungguhnya banyak dari korban kuru tidak mempunyai hubungan biologis secara dekat, tetapi merupakan kerabat non-biologis.

Fore merupakan nama kelompok regional besar kepunyaan mereka (Ibusa, Atigina, Pamusa), daerah pemerintahan ini merupakan suatu kesatuan dengan sedikit perbedaan dialek dan adat-istiadat. Unit yang lebih kecil disebut jemaat (parishes), terdiri dari satu atau beberapa batas dusun-dusun kecil, anggota-anggotanya mempunyai kepentingan hukum di dalam suatu daerah tertentu dan bersama-sama mendiami suatu ‘tempat kudus (spirit place)’ atau hutan keramat (sacred grove). Idealnya, kesatuan ini bekerja sama untuk pertahanan dan menyelesaikan perselisihan internal secara damai. Subdivisi jemaat terkecil adalah lounei, kaum, suatu kelompok orang yang berpikir bahwa diri mereka sebagai keturunan dari suatu patrilineal nenek moyang, yang biasanya tinggal bersama dan menikah, dengan pilihan untuk pria menikah dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Mereka  juga ikut serta memasang harga pengantin (bride price) dan memberi kerabat mereka yang telah meninggal untuk dikonsumsi oleh ‘kaum (line)’ dari saudara laki-laki ibu mereka, memperkuat hukum adat mengenai pertukaran dari barang-barang bernilai lainnya (babi, kulit, dan hakekat jasmaniah) antara kerabat yang dihubungkan dengan kekerabatan dan pernikahan.

Kesatuan dan keharmonisan yang ada begitu lemah. Kaum imigran membentuk kantung-kantung dan menikmati keadilan sepanjang mereka berlanjut mengunjungi dan memelihara ketertarikan dengan kelompok asli ini. Penerimaan kelompok imigran menyelesaikan masalah kolonialisasi, khususnya dengan penduduk Fore pada waktu itu, yaitu dengan pernikahan singkat daengan wanita. Beban pendatang baru untuk bergabung ke dalam kelompok ini tergantung pada rasa kesetiaan dan memiliki ‘satu darah (one blood)’ , rasa persatuan bagi yang bermukim dan bertindak secara bersama-sama, dan juga rasa berbagi hakekat jasmaniah bagi orang yang makan makanan yang tumbuh pada tanah mereka. Sesuai dengan berjalannya waktu, individu yang menunjukkan komitmen untuk beradaptasi dengan kelompok ini akan memiliki status kekerabatan, yaitu: ‘saudara laki-laki (brother)’ atau ‘saudara perempuan (sister)’. Hubungan ini diartikan dengan suatu status kekerabatan dan ditetapkannya suatu aturan moral untuk kehidupan, tetapi tetap tidak ada hubungan genetik.

Silsilah keluarga Fore begitu pendek, tidak lebih dari lima generasi. Penduduk Fore lebih mengandalkan perluasan hubungan lateral. Mereka menyetujui adopsi, penemuan orangtua pengganti di dalam kaum bapak untuk anak-anak yatim piatu karena kematian ibu mereka yang disebabkan kuru dan pada waktu sebelumnya kehilangan bapak mereka karena menjadi korban perang. Pasangan yang baru menikah ‘dipinjamkan’ anak-anak oleh kerabat dekat. Selain itu adopsi juga diperbolehkan di antara orang yang memiliki hubungan dekat. Hadiah kesuburan atau persalinan (gift of fertility or labour) ditukar dengan kekayaan di dalam dua pesta.

Suatu hubungan kekerabatan lebih erat terjadi dengan pembuatan kekerabatan kagisa (berasal dari kata kagine, waktu tengah hari). Individu yang tidak diketahui hubungan kekerabatannya menukar makanan dan kekayaan di dalam suatu acara makan formal sepanjang kagine, ketika matahari berada di atas kepala langsung. Persetujuan dengan matahari, sebuah kosmik, dan disahkan dengan konsumsi makanan yang tumbuh di sekitar rumah, ikatan ini juga membangun dasar kekerabatan. Kekerabatan kagisa penting untuk menciptakan kakak laki-laki dari ibu dengan suatu pilihan untuk para pria menikahi anak perempuan dari kakak laki-laki ibu, untuk menciptakan saudara perempuan yang dapat memberikan saudara laki-lakinya sumber makanan dan kasih sayang, dan suatu bagian dari hadiah pernikahan ketika saudara perempuan kagisa menikah. Jadi, kekerabatan Fore adalah berdasarkan dokumen sosial yang memberikan legitimasi untuk pernyataan dan kewajiban kekerabatan.

Satu lagi hubungan tambahan, yaitu wagoli (‘dasar (base)’ atau ‘akar (root)’ pria), persekutuan perang dan rekan dagang yang daerahnya pada waktu lampau dianggap sebagai tempat perlindungan. Wagoli menerima suatu bagian dari pembayaran kematian rekan mereka. Beberapa dari mereka memberikan yang lain dengan senang hati, saudara-saudara perempuan dari tuan rumah (host) wagoli menjadi saudara perempuan kagisa dari tamu (the visitor) dan menjadi anak-anaknya tuan rumah (host), ‘anak-anak laki-laki’ dan ‘anak-anak perempuan’. Beberapa hubungan wagoli diwariskan dari orangtua mereka, beberapa lagi dibentuk oleh mereka sendiri.

Silsilah menyatakan bahwa penduduk Fore telah ‘membuat tak kelihatan (invisible)’ asal dari beberapa pria dewasa yang dikatakan dari suatu populasi yang tinggal  di Purosa Selatan dan yang berbahasa Pawaian, suatu bahasa yang tidak ada hubungannya dengan Bahasa Nugini Timur. Setelah masa-masa hubungan harmonis yang terlihat di antara penduduk Fore dan orang-orang Pawaian, terjadilah hubungan tidak menyenangkan. Penduduk Fore membakar rumah-rumah orang Pawaian dan menembak orang-orang yang berusaha lari. Orang-orang yang bertahan, sekarang telah dewasa, ‘menjadi penduduk Fore’. Definisi hubungan menurut penduduk Fore termasuk orang yang mengatakan memiliki ‘satu darah’, banyak yang telah mendapatkan status kekerabatan dekat dengan pengertian sosial.

Kekerabatan Fore dapat digambarkan sebagai bentuk dengan jaring-jaring pendekatan berdasarkan perluasan lateral daripada kedalaman vertikal, yang tidak berdasarkan penjelasan biologis. Ini adalah sebuah bentuk organisasi sosial sesuai dengan sebuah bentuk dasar pertanian yang lahannya sering direlokasi, populasi secara relatif bergerak (mobile), dan pecahan kelompok-kelompok yang kemudian bergabung di dalam jajaran baru.

Banyak yang telah berubah di Fore Selatan sejak awal 1960an. Penduduk Fore tidak begitu lama mengkonsumsi kerabatnya yang telah meninggal dan kuru jadi tidak begitu lama ditransmisikan. Dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang telah mengurangi kematian anak, populasi telah meningkat dengan cepat.  Wanita-wanita berumur pendek tidak begitu lama kejadiannya, orang-orang telah meninggalkan penggembalaan babi, menggaji buruh, dan pasar telah menyediakan akses jaringan-jaringan perdagangan. Dengan tekanan dari peperangan (juga ciptaan dari para pengungsi), seperti produksi kopi sebagai suatu pembayaran tunai hasil panen (mengikat orang dengan penanaman mereka), populasi Fore sekarang kurang bergerak (mobile). Suatu sistem  kekerabatan sesuai dengan kondisi sosial yang ada 50 tahun yang lalu bisa tidak begitu relevan. Itu mungkin bahwa beberapa gambaran bahwa beberapa karakter kekerabatan Fore, seperti kesiapan kerjasama kaum imigran, praktik adopsi dan penciptaan kekerabatan kagisa secara luas, bisa tidak sesuai lagi dengan kebutuhan sekarang. ‘Wantoks’ (teman-teman) terlihat menjadi suatu tambahan untuk wagoli.

Kesimpulan

Kuru adalah salah satu contoh penyakit yang berhubungan dengan kebudayaan. Banyak contoh-contoh kebudayaan lain yang bisa menyebabkan penyakit selain kuru ini. Oleh sebab itu, penting sekali para tenaga medis untuk berpikir secara holistik dalam penanganan suatu penyakit karena ada banyak hal yang berhubungan dengan terjadinya suatu penyakit.

Written by: Catherine Maname Uli

Daftar Pustaka :

  1. Foto Kebiadaban Korban Kanibal. Available from the URL: http://andidwih.blogspot.com/2008/12/foto-kebiadaban-korban-kanibal.html
  2. Culture Specific Deseases. Available from the URL: http://anthro.palomar.edu/medical/med_4.htm

Understanding Kuru: The Contribution of Anthropology and Medicine. Available from the URL: http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/363/1510/3715.full

Leave a comment